PROSUDER DAN TEKNIK BERACARA (HUKUM PERDATA)
A.
PROSES BERACARA PERKARA PERDATA
Telah di jelaskan, sesuai dengan pasal 2ayat (1) UU no 14 tahun
1970 sebagaimana di ubah dengan UU No. Tahun 1999, dan sekarang diatur dalam pasal 16 ayat (1) UU No. Tahun
2004 sebagai pengganti UU No.4 tahun 1970. Tugas dan kewenangan badan peradilan
di bidang perdata adalah menerima ,memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak
yang berperkara. Wewenang pengadilan menyelesaikan sengketa di antara pihak
yang bersengketa , disebut yurisdiksi dan gugatan.
Gugatan Cotentiosa inilah yang
dimaksud dengan gugatan perdata dalam praktik . sedangkan penggunaa gugatan
contetiosa , lebih bercorak pengkajian teoritis untuk memebedakanya dengan
gugatan voluntair. Dalam perundang-undangan, istilah yang di pergunakan adalah
gugatan perdata.
·
Pasal
118 ayat (1) HIR mempergunakan istilah gugatan perdata .
Akan tetapi, dalam pasal-pasal
selanjutnya di sebut gugatan atau gugat saja ( seperti dalam pasal
119,120, dan sebagainya.
·
Pasal
1 Rv menyebut gugatan (tiap-tiap proses perkara perdata ..., di mulai dengan
sesuatu pemberitahuan gugatan .....). Namun
jika pasal itu di baca keseluruhan, yang di maksud dengan gugatan adalah
gugatan perdata.
Proses Beracara
Perkara Perdata
·
Permohonan
·
Gugatan
·
Penyitaan
·
Perlawanan
·
Eksekusi
·
Lelang
Pelaksanaan
Pendaftaran Gugatan Tingkat Pertama
1. Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
a.
Surat Permohonan / Gugatan ;
b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
2. Gugatan dan Surat Kuasa Asli
harus mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri
3. Setelah mendapat persetujuan, maka Penggugat / Kuasanya membayar biaya
gugatan
4. Memberikan SKUM yang telah dibayardan menyimpan bukti asli untuk arsip.
5. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan.
6. Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri yang disampaikan oleh
Juru Sita Pengganti.
7. Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan
Pelaksanaan
Pendaftaran Gugatan Tingkat Banding
1. Pemohon atau melalui Kuasa
Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri di Meja 3 bagian
Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
a.
Surat Permohonan Banding;
b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
c. Memori Banding
2. Pemohon / Kuasanya membayar biaya
gugatan/SKUM di Kasir;
3. Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
4. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan.
5. Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan
jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri
setempat untuk mempelajari berkas.
6. Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan salinan Kontra Memori
Banding.
7. Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan disampikan oleh
Juru Sita Pengganti.
Pelaksanaan
Pendaftaran Gugatan Tingkat Kasasi
1. Pemohon atau melalui Kuasa
Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri bagian Perdata, dengan
beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
a.
Surat Permohonan Kasasi;
b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
c. Memori Kasasi
2. Pemohon / Kuasanya membayar biaya
gugatan / SKUM di Kasir;
3. Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
4. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan.
5. Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan
jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk
mempelajari berkas.
6. Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan salinan Kontra Memori
Kasasi.
7. Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan disampaikan oleh Juru
Sita Pengganti.
Perkara Permohonan
·
Permohonan
harus diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau
kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, tempat tinggal
pemohon.
Permohonan disampaikan kepada
Pengadilan Negeri, kemudian didaftarkan dalam buku Register dan diberi Nomor
urut, setelah pemohon membayar persekot biayaperkara, yang besarnya sudah
ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR).
Bagi pemohon yang benar-benar
tidak mampu membayar biaya perkara, hal mana harus dibuktikan dengan surat
keterangan dari Kepala Desa yang bersangkutan, dapat mengajukan permohonannya
secara prodeo.
Pemohon yang tidak bisa menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan
dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat permohonan
tersebut (pasal 120 HIR).
Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi volunter. Berdasarkan
permohonan yang diajukan itu, Hakim akan memberi suatu penetapan.
Ada permohonan tertentu yang harus dijatuhkan berupa putusan oleh Pengadilan
Negeri, misalnya dalam hal diajukan permohonan pengangkatan anak oleh seorang
Warga Negara Asing (WNA) terhadap anak Warga Negara Indonesia (WNI), atau oleh
seorang Warga Negara Indonesia (WNI) terhadap anak Warga Negara Asing (WNA).
(SEMA No. 6/1983).
Tidak semua permohonan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan,
apabila hal itu ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undangan atau
yurisprudensi.
Contoh permohonan yang dapat diajukan dan ditetapkan oleh Pengadilan Negeri
adalah:
·
Permohonan
pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa.
·
Permohonan
pengangkatan pengampu bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang
dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun.
·
Permohonan
dispensasi nikah bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita
yang belum mencapai umur 16 tahun, yang dapat diajukan kepada Pengadilan
Agama atau Pengadilan Negeri (pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974).
·
Permohonan
izin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun (pasal 6 ayat (5)
Undang-undang No. I tahun 1974).
·
Permohonan
pembatalan perkawinan (pasal 25, 26 dan 27 Undang-undang No.1 tahun 1974).
·
Permohonan pengangkatan anak (diperhatikan
SEMA No. 6/1983).
·
Perwohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam
akta catatan sipil, misalnya apabila nama anak secara salah disebutkan dalam
akta tersebut.
·
Permohonan untuk menunjuk seorang atau
beberapa orang wasit, oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia
untuk menunjuk wasit.
·
Permohonan
untuk pencatatan kelahiran, setelah lewat 1 (satu) tahun sejak tanggal
kelahiran.
·
Permohonan
untuk menetapkan, bahwa sebidang tanah adalah milik pemohon tidak dapat
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri. Hak Milik atas sebidang tanah harus
dibuktikan dengan sertifikat tanah atau apabila dipermasalahkan dalam suatu
gugatan, dibuktikan dengan alat bukti lain dipersidangan.
Demikian juga permohonan untuk rnenetapkan seseorang atau beberapa orang adalah
ahliwaris almarhum, tidak dapat diajukan. Penetapan ahli waris dapat dikabulkan
dalam suatu gugatan mengenai warisan almarhum.
Untuk mengalihkan hak atas tanah, menghibahkan, mewakafkan, menjual, membalik
nama sebidang tanah dan rumah, yang semula tercatat atas nama almarhum atau
almarhumah, cukup dilakukan:
·
Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris BW,
dengan surat keterangan hak waris, yang dibuat oleh Notaris.
·
Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris Adat
dengan surat keterangan ahliwaris yang dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan
sendiri, yang disaksikan oleh Lurah dan diketahui Camat dari desa dan
kecamatan tempat tinggal almarhum.
·
Bagi
mereka yang berlaku Hukum Waris lain-lainnya, misalnya Warga Negara Indonesia
keturunan India, dengan surat keterangan ahliwaris yang dibuat oleh Balai Harta
Peninggalan (perhatikan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal
Agraria, Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah, u.b. Kepala Pembinaan Hukum, R.
Soepandi, tertanggal 20 Desember 1969, No. Dpt/I12/63/12/69, yang terdapat
dalarn buku Tuntunan bagi Pejabat Pembuat Akte Tanah, Dep. Dalam Negeri,
Ditjen.-Agraria, halaman 85).
Tidak dibenarkan untuk mengabulkan suatu permohonan dan rnenetapkan seorang
atau beberapa orang sebagai pemilik atau mempunyai hak atas suatu barang.
Tidaklah pula dapat dikeluarkan penetapan atas surat permohonan untuk
menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah.
Akta Dibawah
Tangan Mengenai Keahliwarisan
Akta ini dibuat oleh ahli waris almarhum. Mereka membuat suatu
surat pemyataan bahwa diri mereka adalah ahli waris, dan dengan menyebutkan
kedudukan masing-masing dalam hubungan keluarga yang telah meninggal.
Pernyataan yang dibuat tersebut dapat dimintakan untuk disahkan tanda-tangannya
oleh Notaris atau Ketua Pengadilan Negeri.
Setelah dibacakan dan dijelaskan dihadapan para pihak oleh Ketua Pengadilan
Negeri atau Hakim yang ditunjuk, tanda tangan mereka disyahkan dengan
mendasarkan ketentuan pasal 2 (1) Stbld. 1916-46 dengan cara, dibawah
pernyataan tersebut dibubuhi:
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Ketua/Hakim Pengadilan Negeri Sleman menerangkan, bahwa orang bernama_________
telah saya kenal atau telah diperkenalkan kepada saya, dan kepadanya/mereka
telah saya jelaskan isi pernyataan dalam akta tersebut diatas, dan setelah itu
ia/mereka membubuhkan tanda tangannya di hadapan saya.
Surat keterangan ahli waris tersebut hanya berlaku untuk suatu keperluan
tertentu, karena itu agar di bawahnya dicantumkan dengan huruf-huruf besar
sebagai berikut (sebagai contoh):
CATATAN:
AKTA DI BAWAH TANGAN INI YANG TELAH DISAHKAN INI KHUSUS BERLAKU UNTUK MENGAMBIL
UANG DEPOSITO DI BANK __________ ATAS NAMA _____________
Dan kemudian dibubuhi cap Pengadilan Negeri.
Sesuai dengan pasal 3 ayat (1), akta tersebut dicatat dalam Buku Register yang
khusus disediakan untuk itu.
GUGATAN
Gugatan harus diajukan dengan surat gugat yang ditandatangani oleh penggugat
atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Gugatan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian akan diberi nomor dan
didaftarkan dalam buku Register setelah penggugat membayar panjar biaya
perkara, yang besarnya ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR).
Bagi Penggugat yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, hal mana
harus dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa yang bersangkutan,
dapat mengajukan gugatannya secara prodeo.
Penggugat yang tidak bisa menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan
dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat gugatan tersebut
(pasal 120 HIR).
KOMPETENSI
RELATIF (pasal 118 (1) HIR)
·
Pengadilan
Negeri berwenang memeriksa gugatan yang daerah hukumnya, meliputi:
Dimana tergugat bertempat tinggal.
Dimana tergugat sebenarnya berdiam (jikalau tergugat tidak diketahui tempat
tinggalnya).
Salah satu tergugat bertempat tinggal, jika ada banyak tergugat yang tempat
tinggalnya tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Negeri.
Tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara tergugat-tergugat adalah
sebagai yang berhutang dan penjaminnya.
Penggugat atau salah satu dari penggugat bertempat tinggal dalam hal:
·
tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan
tidak diketahui dimana ia berada.
·
tergugat tidak dikenal.
·
Dalam hal tersebut diatas dan yang menjadi
objek gugatan adalah benda tidak bergerak (tanah), maka ditempat benda yang
tidak bergerak terletak.
·
(Ketentuan HIR dalam hat ini berbeda dengan
Rbg. Menurut pasal 142 RBg, apabila objek gugatan adalah tanah, maka gugatan
selalu dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri dimana tanah itu terletak).
Dalam hal ada pilihan domisili secara teI1!llis dalam akta, jika penggugat
menghendaki, ditempat domisili yang dipilih itu.
Apabila tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan tangkisan (eksepsi)
tentang wewenang mengadili secara relatif ini, Pengadilan Negeri tidak boleh
menyatakan dirinya tidak berwenang.
(Hal ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 133 HIR, yang menyatakan, bahwa
eksepsi mengenai kewenangan relatip harus diajukan pada permulaan sidang,
apabila diajukan terlambat, Hakim dilarang untuk memperhatikan eksepsi
tersebut).
KUASA/WAKIL
Untuk bertindak sebagai Kuasa/Wakil dari penggugat/tergugat ataupun pemohon,
seseorang harus memenuhi syarat-syarat:
·
Mempunyai surat kuasa khusus yang harus
diserahkan dipersidangan. atau pemberian kuasa disebutkan dalam surat
gugatan/permohonan, atau kuasa/wakil ditunjuk oleh pihak yang
berperkara/pemohon didalam persidangan secara lisan.
·
Memenuhi syarat yang ditentukan dalam
peraturan Menkeh No. 1/1985 jo Keputusan Menkeh tanggal 7 Oktober 1965 No.
J.P.14-2-11.
·
Telah terdaftar sebagai Advokat/Pengacara
praktek di kantor Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri setempat atau secara
khusus telah diizinkan untuk bersidang mewakili penggugat/ tergugat dalam
perkara tertentu.
·
Permohonan banding atau kasasi yang diajukan
oleh Kuasa/Wakil dari pihak yang bersangkutan barus dilampiri dengan surat
kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut atau surat kuasa yang
dipergunakan di Pengadilan Negeri telah menyebutkan pemberian kuasa pula untuk
mengajukan permohonan banding atau kasasi.Untuk menjadi kuasa dari pihak tergugat
juga berlaku hal-hal tersebut diatas.
·
Kuasa/Wakil Negara/Pemerintah dalam suatu
perkara perdata berdasarkan Stbl. 1922 No. 522 dan pasal 123 ayat 2 HIR,
adalah:
a. Pengacara Negara yang diangkat oleh
Pemerintah.
b. Jaksa.
c. Orang tertentu atau
Pejabat-pejabat yang diangkat/ditunjuk oleh Instansi-instansi yang
bersangkutan.
Jaksa tidak perlu menyerahkan Surat Kuasa khusus. Pejabat atau orang yang
diangkat/ditunjuk oleh instansi yang bersangkutan, cukup hanya menyerahkan
Salinan Surat pengangkatan/penunjukan, yang tidak bermaterai.
PERKARA GUGUR
Apabila pada hari sidang pertama penggugat atau semua penggugat tidak datang,
meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang
sah, sedangkan tergugat atau kuasanya yang sah datang, maka gugatan digugurkan
dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Penggugat dapat mengajukan
gugatan tersebut sekali lagi dengan membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila
telab dilakukan sita jaminan, sita tersebut ikut gugur.
Dalam hal-hal yang tertentu, misalnya apabila penggugat tempat tinggalnya jauh
atau ia benar mengirim kuasanya, namun surat kuasanya tidak memenuhi syarat,
Hakim boleh mengundurkan dan menyuruh memanggil penggugat sekali lagi. Kepada
pihak yang datang diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa panggilan.
Jika penggugat pada hari sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah
dipanggil dengan patut, tetapi pada hari kedua ia datang dan pada hari ketiga
penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak bisa digugurkan (pasal 124 HIR).
PUTUSAN VERSTEK
Apabila pada hari sidang pertama dan pada hari sidang kedua tergugat atau semua
tergugat tidak datang padahal telah dipanggil dengan patut dan juga tidak
mengirim kuasanya yang sah, sedangkan penggugat/para penggugat selalu datang,
maka perkara akan diputus verstek.
Meskipun tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama atau tidak mengirim
kuasanya yang sah, tetapi’jlka ia mengajukan jawaban tertulis berupa tangkisan
tentang tidak berwenang mengadili, maka perkara tidak diputus dengan verstek.
TANGKISAN/EKSEPSI
Tangkisan atau eksepsi yang diajukan oleh tergugat, diperiksa dan diputus
bersama-sama dengan pokok perkaranya, kecuali jika eksepsi itu mengenai tidak
berwenangnya Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara tersebut.
Apabila diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara, dalam pertimbangan hukum
dan dalam diktum putusan, tetap disebutkan:
Dalam eksepsi:………….. (pertimbangan lengkap).
Dalam pokok perkara….. (pertimbangan lengkap).
·
PENCABUTAN
SURAT GUGATAN
Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa. Tetapi jika
perkara sudah diperiksa dan tergugat telah memberi jawabannya, maka pencabutan
perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat (pasal 271, 272 RV).
PERUBAHAN/PENAMBAHAN GUGATAN
Pembahan dan/atau penambahan gugatan diperkenankan, asal diajukan pada hari
sidang pertama dimana para pihak hadir, tetapi hat tersebut harus ditanyakan
pada pihak lawannya guna pembelaan kepentingannya.
Penambahan dan/atau penambahan gugatan tidak boleh sedemikian rupa, sehingga
dasar pokok gugatan menjadi lain dari materi yang menjadi sebab perkara antara
kedua belah pihak tersebut. Dalam hal demikian, maka surat gugat harus dicabut.
PERDAMAIAN
Jika kedua beIah pihak hadir dipersidangan, Hakim harus berusaha mendamaikan mereka.
Usaha tersebut tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat
dilakukan meskipun taraf pemeriksaan telah lanjut (pasal 130 HIR).
Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian, yang harus
dibacakan terlebih dahulu oleh Hakim dihadapan para pihak, sebelum Hakim
menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi
perdamaian tersebut.
Akta perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan Hakim yang
berkuatan hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat dimintakan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Terhadap putusan perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal mana harus dicatat dalam berita acara
persidangan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat
gugatan dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan
menggunakan penerjemah (pasal 131 HIR).
Khusus untuk gugat cerai:
·
Apabila dalam perkawinan tersebut ada anak,
agar berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan sedapat
mungkin suami-isteri harus datang sendiri.
·
Apabila usaha perdamaian berhasil, gugatan
harus dicabut. Sehubungan dengan perdamaian ini tidak bisa dibuat akta
perdamaian. Apabila usaha perdamaian gagal, gugat cerai diperiksa dengan sidang
tertutup.
PENGGUGAT/TERGUGAT MENINGGAL DUNIA
Jika Penggugat atau tergugat setelah mengajukan gugatan meninggal dunia, maka
ahliwarisnya dapat melanjutkan perkara.
BIAYA YANG
DAPAT TIMBUL DALAM PERSIDANGAN
Jika selama pemeriksaan perkara atas permohonan salah satu pihak ada
hal-hal/perbuatan yang barus dilakukan, maka biaya dibebankan kepada pemohon
dan dianggap sebagai persekot biaya perkara, yang dikemudian hari akan
diperhitungkan dengan biaya perkara yang harus dibayar oleh pihak yang dengan
putusan Hakim dihukum untuk membayar biaya perkara, biasanya pihak yang
dikalahkan.
Pihak lawan, apabila ia mau, dapat membayarnya Jika kedua belah pihak tidak mau
membayar biaya tersebut, maka hal/perbuatan yang barus dilakukan itu tidak jadi
dilakukan, kecuali jika hal/perbuatan itu menurut Hakim memang sangat
diperlukan. Dalam hal itu, biaya tersebut sementara akan diambil dari uang
panjar biaya perkara yang telah dibayar oleh Penggugat (pasal 160 HIR).
PENGGABUNGAN PERKARA
Beberapa gugatan dapat digabungkan menjadi satu, apabila antara gugatan-gugatan
yang digabungkan itu, terdapat hubungan erat atau ada koneksitas. Hubungan erat
ini harus dibuktikan berdasarkan faktanya.
Penggabungan gugatan diperkenankan apabila menguntungkan proses, yaitu apabila
antara gugatan yang gabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan
memudahkan pemeriksaan, serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya
putusan-putusan yang saling bertentangan.
VOEGING, INTERVENSI DAN VRIJWARING
HIR/RBg tidak mengenal voeging, interventie, dan vrijwaring, tetapi apabila
benar-benar dibutuhkan dalam praktek sedangkan belum terdapat kaidah hukum yang
mengaturnya, ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada
Rv. (pasal 279 Rv dan seterusnya, dan pasal 70 Rv dan seterusnya), karena pada
dasarnya Hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materiil maupun hukum
formil.
Putusan Hakim bertujuan untuk memberi penyelesaian terhadap perkara yang sedang
diadilinya sedemikian rupa, sehingga apabila perkara tersebut menyangkut pihak
yang lain daripada penggugat dan tergugat, maka Hakim atas permintaan, dapat
mengabulkan permintaan pihak ketiga untuk ikut serta dalam’ proses, sehingga
Hakim dapat memberi putusan bagi semua orang yang berkepentingan.
Voeging terjadi, apabila dalam
sidang datang pihak ketiga yang mengajukan permohonan untuk bergabung pada
penggugat atau tergugat. Voeging dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela.
Interventie (tussenkomst) terjadi:
·
apabila
pihak ketiga merasa mempunyai kepentingan yang akan terganggu, jika ia tidak
ikut dalam proses perkara itu.
·
Misalnya dalam interventie barang milik
intervenient, yang diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Untuk mendapatkan
barang itu dan agar barang itu dinyatakan sebagai miliknya, maka interventie
diajukan. Interventie dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela.
·
Sebenamya apabila pihak yang berkepentingan
itu tidak mencampuri proses yang bersangkutan, ia dapat mempertahankan haknya
dalam suatu proses tersendiri, akan tetapi perlindungan haknya itu akan lebih
mudah ditempuh dengan cara interventie, yang hal dapat pula mencegah putusan
putusan yang saling bertentangan.
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab. Vrijwaring
diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh
tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: Tergugat digugat oleh penggugat,
karena barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung cacat tersembunyi. Pada hal
tergugat yang membeli barang itu dari pihak ketiga. Maka tergugat menarik pihak
ketiga ini, agar bertanggung jawab atas cacat itu. Permohonan vrijwaring
ditolak atau dikabulkan dengan putusan sela.
GUGATAN DALAM REKONPENSI (GUGAT BALIK ATAU GUGAT BALASAN)
Gugatan rekonpensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban
selambat-lambatnya sebelum pemeriksaan mengenai pembuktian, baik jawaban secara
tertulis maupun lisan (pasal 132 b HIR/pasal 158 Rbg).
Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan dalam rekonpensi,
maka dalam pemeriksaan tingkat banding tidak diizinkan lagi untuk mengajukan
gugatan balik.
Kedua gugatan (dalam konpensi dan dalam rekonpensi diperiksa bersama-sama dan
diputus dalam satu putusan.
Akan tetapi Hakim dapat memeriksa gugatan yang satu terlebih dahulu, yaitu jika
gugatan yang satu ini dapat diselesaikan terlebih dahulu dari yang lain, yang
mungkin masih menunggu saksi yang ada diluar negeri atau saksi yang sakit,
kedua perkara itu tetap diadili oleh majelis Hakim yang sama.
Antara gugatan dalam konpensi dan gugatan dalam rekonpensi tidak diharuskan ada
hubungan. Gugatan dalam rekonpensi dapat berdiri sendiri dan oleh tergugat
sebenarnya dapat diajukan tersendiri, menurut acara biasa kapan saja.
Apabila gugatan konpensi dicabut, maka gugatan rekonpensi tidak bisa
dilanjutkan
PENYITAAN
SITA JAMINAN
Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim/Ketua Majelis sebelum atau selama
proses pemeriksaan berlangsung. Hakim/Ketua Majelis membuat surat penetapan.
Penyitaan dilaksanakan oleh Juru Sita/Panitera Pengadilan Negeri dengan dua
orang pegawai pengadilan sebagai saksi.
Dalam hal dilakukan sita jaminan sebelum sidang dimulai, maka harus
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Penyitaan hendaknya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal
sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada
di tangan tergugat yang dimaksud dalam surat gugat) sekedar cukup untuk
menjamin pelaksanaan putusan dikemudian hari.
Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita
acara penyitaan harus didaftarkan sesuai ketentuan yang terdapat dalam pasal
227 (3) jo pasal 198 dan pasal 199 HIR. Apabila penyitaan tersebut telah
didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional atau Kelurahan, maka sejak
didaftarkannya itu, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan dengan cara
apapun, atau membebankan/menjaminkan tanah tersebut. Tindakan tersita yang
bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum.
Barang yang disita itu, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita
dengan sita conservatoir, harus tetap dipegang/dikuasai oleh tersita. Adalah
salah, untuk menitipkan barang itu kepada Lurah atau kepada Penggugat atau
membawa barang itu untuk disimpan di gedung Pengadilan Negeri.
Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita conservatoir (terhadap milik tergugat),
dan sita revindicatoir (terhadap milik penggugat) – (pasal 227, 226 HIR).
SITA CONSERVATOIR:
Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk
menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat.
Yang disita adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak milik
tergugat.
Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan seksama, bahwa
tanah tersebut adalah milik tergugat dan luas serta batas-batasnya harus
disebutkan dengan jelas.
(Perhatikan SEMA No. 89/K11018/M/1962, tertanggal 25 April 1962). Untuk
menghindari salah sita, hendaknya Kepala Desa diajak serta untuk melihat
keadaan tanah, bartas serta luas tanah yang akan disita.
Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di desa, selain
itu sita atas tanah yang ada sertifikat harus pula didaftarkan, dan atas tanah
yang belum sertifikat diberitahukan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Tentang penyitaan itu dicatat di buku khusus yang disediakan di Pengadilan
Negeri yang memuat catatan mengenai tanah-tanah yang disita, kapan disita dan
perkembangannya. Buku ini adalah terbuka untuk umum.
Sejak tanggal pendaftaran sita itu, tersita dilarang untuk menyewakan,
mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita itu. Semua tindakan tersita yang
dilakukan bertentangan dengan larangan itu adalah batal demi hukum.
Kepala Desa yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai pengawas agar tanah
tersebut tidak dialihkan kepada orang lain.
Penyitaan dilakukan terutama atas barang bergerak milik tergugat juga jangan
berlebihan, hanya cukup untuk menjamin dipenuhinya gugatan penggugat. Apabila
barang bergerak milik tergugat tidak cukup, barulah tanahl/tanah dan rumah
milik tergugat yang disita.
Apabila gugatan dikabulkan, sita
jaminan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam amar putusannya. Apabila
gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan
untuk diangkat.
Apabila gugatan dikabulkan untuk sebagian dan selebihnya ditolak, sita jaminan
untuk sebagian dinyatakan sah dan berharga dan untuk bagian yang lain
diperintah untuk diangkat. Namun apabila yang disita itu adalah sebidang tanah
dan rumah, seandainya gugatan mengenai ganti rugi dikabulkan hanya untuk
sebagian, tidaklah dapat diputuskan menyatakan sah dan berharga sita jaminan
(misalnya, atas 1/3 tanah dan rumah yang bersangkutan).
Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara dilarang,
kecuali seizin dari Mahkamah Agung, setelah mendengar Jaksa Agung (pasal 65 dan
66 ICW).
SITA REVINDICATOIR:
Yang disita adalah barang bergerak milik penggugat yang dikuasai/dipegang oleh
tergugat.
Gugatan diajukan untuk memperoleh kembali hak atas barang tersebut. Kata
revindicatoir berasal dari kata revindiceer, yang berarti minta kembali
miliknya.
Barang yang dimohon agar disita harus disebutkan dalam surat gugat secara jelas
dan terperinci, dengan menyebutkan ciri-cirinya.
Apabila gugatan dikabulkan untuk seluruhnya, sita revindicatoir dinyatakan sah
dan berharga dan tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut kepada
penggugat.
Dapat terjadi, bahwa gugatan dikabulkan hanya untuk sebagian dan untuk
selebihnya ditolak. Apabila hal itu terjadi, maka sita revindicatoir untuk
barang-barang yang dikabulkan, dengan putusan tersebut akan dinyatakan sah dan
berharga, sedangkan untuk barang-barang lainnya, diperintahkan untuk diangkat.
Dalam rangka eksekusi barang yang dikabulkan itu diserahkan kepada penggugat.
Untuk selanjutnya, segala sesuatu yang dikemukakan dalam membahas sita
conservatoir secara mutatis mutandis berlaku untuk sita revindicatoir.
SITA EKSEKUSI
Ada dua macam sita eksekusi:
- Yang langsung.
- Yang tidak langsung.
- Sita eksekusi yang langsung
Sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang
tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah.
Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta pengakuan hutang yang berkepala
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau pelaksanaan grosse
akta hipotik (berfungsi sebagai grosse akta hipotik adalah sertifikat
hipotik yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang
bersangkutan. Lihat pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961
dan pasal 14 (3) Undangundang No. 16 Tahun 1985 jo PP No. 24 Tahun 1997.
Sita eksekusi lanjutan. Apabila barang-barang yang disita sebelumnya
dengan sita conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi
sita eksekusi dan dilelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah
uang yang harus dibayar berdasarkan putusan Pengadilan, maka akan
dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat,
untuk kemudian dilelang.
- Sita eksekusi yang tidak langsung
Sita eksekusi yang tidak
langsung adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah
dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah
menjadi sita eksekusi.
Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau perkakas yang
benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (pasal 197 (8)
HIR, 211 RBg). Perlu diperhatikan, bahwa yang tidak dapat disita adalah
hewan, yang benar-benar dibutuhkan untuk mencari nafkah oleh tersita, jadi
satu atau dua ekor sapi/kerbau yang benat-benar dibutuhkan untuk
mengerjakan sawah. Jadi bukan sapi-sapi dari sebuah perternakan, ini
selalu dapat disita. Binatang-binatang lain, yaitu, kuda, anjing, kucing,
burung, yang kadang-kadang sangat tinggi harga, dapat saja disita.
SITA PERSAMAAN
Istilah dalam bahasa Belanda adalah Vergelijkend beslag, terjemahan baku belum
ada. Ada yang memakai istilah sita perbandingan, ada pula yang menerjemahkan
dalam sita persamaan. Mahkamah Agung memakai istilah sita persamaan.
Sita tersebut antara lain diatur dalam pasal 463 R.V. yang berbunyi:
Apabila jurusita hendak melakukan penyitaan dan menemukan bahwa barang-barang
yang akan disita itu sebelumnya telah disita terlebih dahulu, maka jurusita
tidak dapat melakukan penyitaan sekali lagi, namun ia mempunyai kewenangan
untuk mempersamakan barang-barang yang disita itu dengan Berita Acara
penyitaan, yang untuk itu oleh tersita harus diperlihatkan kepadanya. Ia
kemudian akan dapat menyita barang-barang yang tidak disebut dalam Berita Acara
itu memerintahkan kepada penyita pertama untuk menjual barang-barang tersebut
secara bersamaan dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam pasal 466 Rv. Berita
Acara sita persamaan ini berlaku sebagai sarana pencegahan hasil lelang kepada
penyita pertama. (diterjemahkan secara bebas oleh redaksi.)
Pasal 463 Rv termasuk dalam bab Eksekusi barang bergerak. Dengan demikian
jelaslah, bahwa pasal 463 Rv. berlaku untuk sita eksekusi terhadap barang
bergerak. Jadi, apabila telah dilakukan sita eksekusi, tidak dapat dilakukan
sita eksekusi lagi terhadap barang bergerak yang sama.
Ketentuan yang hampir serupa terdapat dalam pasal 11 (12) Undang-undang PUPN,
Undang-undang No. 49 tahun 1960, yang berbunyi sebagai berikut:
Atas barang yang terlebih dahulu disita untuk orang lain yang berpiutang tidak
dapat dilakukan penyitaan. Jika jurusita mendapatkan barang yang demikian, ia
dapat rnemberikan salinan putusan Surat paksa sebelum tanggal penjualan
tersebut kepada Hakim Pengadilan Negeri, yang selanjutnya menentukan, bahwa
penyitaan yang dilakukan atas barang itu akan juga dipergunakan sebagai jaminan
untuk pembayaran hutang menurut Surat Paksa.
Apabila setelah dilakukan penyitaan, tetapi sebelum dilakukan penjualan barang
yang disita diajukan permintaan untuk melaksanakan suatu putusan Hakim yang
diajukan terhadap penanggung hutang kepada Negara, maka penyitaan yang telah
dilakukan itu dipergunakan juga sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut
putusan Hakim itu dan Hakim Pengadilan Negeri jika perlu memberi perintah untuk
melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang yang belum disita terlebih
dahulu, sehingga akan dapat mencukupi untuk membayar jumlah uang menurut
putusanputusan itu dan biaya penyitaan lanjutan itu.
Dalam hal yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2)2, Hakim Pengadilan Negeri
menentukan cara pembagian hasil penjualan antara pelaksana dan orang yang
berpiutang, setelah mengadakan pemeriksaan atau melakukan panggilan selayaknya
terhadap penanggung hutang kepada Negara, pelaksana dan orang yang berpiutang.
Pelaksanaan dan orang yang berpiutang yang menghadap atas panggilan termaksud
dalam ayat (3), dapat minta banding pada Pengadilan Tinggi atas penentuan
pembagian tersebut.
Segera setelah putusan tentang pembagian tersebut mendapat kekuatan pasti, maka
Hakim Pengadilan Negeri mengirimkan suatu daftar pembagian kepada juru lelang
atau orang yang ditugaskan melakukan penjualan umum untuk dipergunakan sebagai
dasar pembagian uang penjualan.
Oleh karena pasal tersebut berhubungan dengan penyitaan yang dilakukan oleh
PUPN, maka jelaslah pula, bahwa sita tersebut adalah sita eksekusi dan bukan
sita jaminan. Obyek yang disita bisa barang bergerak dan bisa barang tidak
bergerak.
PERLAWANAN
PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
Pasal 129 HIR/153 Rbg memberi kemungkinan bagi tergugat/para tergugat, yang
dihukum dengan verstek untuk mengajukan verzet atau perlawanan.
Kedua perkara tersebut dijadikan satu dan diberi satu nomor.
Sedapat mungkin perkara tersebut dipegang oleh Majelis Hakim yang sama. yaitu
yang telah menjatuhkan putusan verstek.
Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus
memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan.
Pembuktiannya agar mengacu pada SEMA No.9 Tahun 1964.
PERLAWANAN
TEREKSEKUSI TERHADAP SITA EKSEKUSI
Perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi barang bergerak dan barang yang
tidak bererak, diatur dalam pasal 207 HIR atau pasal 225 RBg.
Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal 207 ayat (3) HIR
atau 227 RBg). Namun, eksekusi harus ditangguhkan, apabila segera nampak, bahwa
perlawanan tersebut benar dan beralasan, paling tidak sampai dijatuhkannya
putusan oleh Pengadilan Negeri.
Terhadap putusan dalam perkara ini, permohonan banding diperkenankan.
PERLAWANAN
PIHAK KETIGA TERHADAP SITA CONSERVATOIR, SITA REVINDICATOIR, DAN SITA
EKSEKUSI
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita conservatoir, sita revindicatoir, dan
sita eksekusi, hanya dapat diajukan atas dasar hak milik, jadi hanya dapat
diajukan oleh pemilik atau orang yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang
yang disita dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dari Pengadilan Negeri
yang secara nyata menyita (pasal 195 (6) HIR, pasal 206 (6) RBg).
Jelaslah bahwa penyewa, pemegang hipotik atau credietverband, pemegang hak
pakai atas tanah, tidak dibenarkan untuk mengajukan perlawanan semacam ini.
Pemegang hipotik atau credietverband, apabila tanah/tanah dan rumah yang
dijaminkan kepadanya itu disita, berdasarkan klausula yang selalu terdapat
dalam perjanjian yang dibuat dengan debiturya langsung dapat minta eksekusi
kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala PUPN.
Pemegang gadai tanah, yang kedudukannya sama dengan pemilik tanah, sebelum
adanya Perpu No. 56 Tabun 1960, dapat mengajukan perlawanan pihak ketiga.
Sekarang, karena gadai tanah terbatas sampai paling lama 7 (tujuh) tahun,
pemegang gadai tanah tidak dibenarkan untuk mengajukan perlawanan pihak ketiga
lagi.
Agar pelawan berhasil, maka ia harus membuktikan, bahwa barang yang disita itu
adalah miliknya. Apabila ia berhasil, maka ia akan dinyatakan sebagai pelawan
yang benar dan sita akan diperintahkan untuk diangkat.
Apabila pelawan tidak dapat membuktikan, bahwa ia adalah pemilik dari barang
yang disita itu, pelawan akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar atau
pelawan yang tidak jujur, dan sita akan dipertahankan.
Dalam praktek banyak sekali diajukan perlawanan pihak ketiga oleh isteri atau
suami dari tersita.Perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh isteri atau
suami, dalam hal harta bersama yang disita, sudah barang tentu tidak dapat
dibenarkan oleh karena harta bersama selalu merupakan jaminan untuk pembayaran
hutang isteri atau suami yang terjadi dalam perkawinan, yang memang harus
ditanggung bersama.
Apabila yang disita adalah harta bawaan atau harta asal suami atau isteri, maka
isteri atau suami bisa mengajukan perlawanan pihak ketiga dengan sukses,
artinya ia dapat dinyatakan sebagai pelawan yang benar, kecuali:
Mereka yang menikah berdasarkan BW dengan persatuan harta atau membuat
perjanjian perkawinan berupa persatuan hasil dan pendapatan.
Suami atau isteri tersebut telah ikut menandatangani surat perjanjian hutang,
sehingga ia ikut bertanggungjawab.
Perlawanan pihak ketiga adalah upaya hukum luar biasa dan oleh karenanya pada
azasnya tidak menangguhkan eksekusi.
Eksekusi mutlak harus ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin
eksekusi yang bersangkutan, apabila perlawanan tersebut segera nampak, bahwa
benar-benar beralasan, misalnya, apabila sertifikat tanah yang akan dilelang
sejak semula jelas tercatat atas nama orang lain, atau dari BPKB yang diajukan,
jelas terbukti, bahwa mobil yang akan dilelang itu, sejak lama adalah milik
pelawan. Apabila tanah atau mobil tersebut baru saja tercatat atas nama
pelawan, harap hati-hati, karena mungkin saja tanah atau mobil itu diperoleh,
oleh pelawan, setelah tanah atau mobil itu disita, sehingga perolehan itu tidak
syah.
Sehubungan dengan diajukannya perlawanan pihak ketiga ini, Ketua Majelis yang
memeriksa perkara tersebut, selalu harus melaporkan perkembangan perkara itu
kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Laporan tersebut diperlukan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk menentukan
kebijaksanaan mengenal diteruskannya atau ditangguhkannya eksekusi yang
dipimpin olehnya.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, yaitu sita conservatoir dan sita
revindicatoir, tidak diatur baik dalam HIR, RBg atau R V, namun dalam praktek
menurut yurisprudensi, perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku
pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir ini
belum disyahkan. (putusan Mahkamah Agung tanggal 31-10-1962, No. 306K/Sip/1962.
Rangkuman Yurisprudensi II halaman 270).
EKSEKUSI GROSSE
AKTA
Menurut pasal 1224 HIR/pasal 258 R.Bg ada dua macam grosse yang mempunyai
kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta
hipotik.
Yang dimaksud dengan grosse adalah salinan pertama dari akta otentik. Salinan
pertama ini diberikan kepada kreditur.
Oleh karena salinan pertama dari akta pengakuan hutang yang dibuat oleh Notaris
mempunyai kekuatan eksekusi, maka salinan pertama ini sengaja diberi
kepala/irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Salinan lainnya yang diberikan kepada debitur tidak memakai
kepala/irah-irah.
Aslinya, yang disebut minit, yang akan disimpan oleh Notaris dalam arsip, juga
tidak memakai kepala/irah-irah.
Grosse akta pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, oleh Notaris diserahkan kepada kreditur, untuk, apabila
dikemudian hari diperlukan, langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua
Pengadilan Negeri.
Orang yang mengaku berhutang, yaitu debitur, diberi juga salinan dari akta
pengakuan hutang itu, tetapi salinan yang diserahkan kepada debitur tidak
memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Grosse Akta Pengakuan Hutang dapat digunakan khusus untuk kredit Bank berupa
Fixed Loan. Jadi untuk Fixed Loan, Notaris dapat membuat akta pengakuan hutang
dan melalui grossenya yang berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” yang dipegang oleh kreditur, yaitu bank. Bank dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Eksekusi berdasarkan Grosse akta pengakuan hutang mengenai Fixed Loan ini,
hanya bisa dilaksanakan, apabila debitur sewaktu ditegur, membenarkan jumlah
hutangnya itu.
Apabila debitur membantah jumlah hutang tersebut, dan besarnya hutang menjadi
tidak fixed, maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan dan kreditur, yaitu bank
harus mengajukan tagihannya melalui suatu gugatan. Dalam hal ini, apabila
syarat-syarat terpenuhi, putusan dapat dijatuhkan dengan serta merta.
Menurut pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang, (geldschieters ordonantie,
S.1938-523), Notaris dilarang untuk membuat akta pengakuan hutang dan mengeluarkan
grosse aktanya untuk perjanjian hutang-piutang dengan seorang pelepas uang.
Pasal 224 HIR, pasal 258 RBg, tidak berlaku untuk grosse akta semacam ini.
Yang dimaksud dengan grosse akta pengakuan hutang yang diatur dalam pasal 224
HIR, pasal 258 RBG, sebenarnya adalah sebuah akta yang dibuat oleh notaris
antara orang biasa/Badan Hukum yang dengan kata-kata sederhana yang
bersangkutan mengaku berhutang uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan
mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, misalnya dalam waktu 6 (enam)
bulan. Bisa ditambahkan, dengan disertai bunga sebesar 2 % sebulan.
Jadi yang dimaksud jumlahnya sudah pasti dalam akta pengakuan hutang itu,
bentuknya sangat sederhana dan tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan
lain, apalagi yang berbentuk perjanjian.
Dalam praktek banyak terjadi penyalahgunaan Perjanjian kredit bank rekening
koran dengan plafond kredit, perjanjian jual-beli dengan hak membeli kembali,
yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang, sudah tentu tidak bisa dieksekusi
langsung.
Grosse akta pengakuan hutang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dipegang oleh kreditur, dalam hal debitur
melakukan ingkar janji, dapat langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Ketua Pengadilan akan segera memerintahkan Jurusita untuk memanggil debitur
untuk ditegur.
Eksekusi selanjutnya akan dilaksanakan seperti eksekusi atas putusan Pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap.
EKSEKUSI JAMINAN HIPOTIK
Pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 menyatakan:
Salinan dari Akta yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 (yang dimaksud adalah akta
pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT) yang dibuat oleh Kepala Kantor
Pendaftaran Tanah, dijahit menjadi satu oleh pejabat tersebut dengan sertifikat
hipotik, crediet verband yang bersangkutan dan diberikan kepada kreditur yang
berhak.
Sertifikat hipotik dan crediet verband, yang disertai salinan akta yang
dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, mempunyai fungsi sebagai grosse akta hipotik dan
credietverband, serta mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai yang dimaksudkan
dalam pasal 224 HIR/258 RBg serta pasal 18 dan 19 Peraturan tentang
credietverband (S. 1908-542).
Pasal 14 (3) Undang-undang Rumah Susun, yaitu Undang-undang No. 16 Tahun 1985,
menyebutkan:
Sebagai tanda bukti adanya hipotik, diterbitkan sertifikat hipotik yang terdiri
dari salinan buku tanah hipotik dan salinan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pasal 14 (5) menegaskan: Sertifikat hipotik sebagaimana dimaksudkan dalam ayat
(3) mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat dilaksanakan seperti Putusan
Pengadilan Negeri.
Sertifikat hipotik merupakan tanda bukti adanya hipotik dan dibagian depannya,
yaitu diatas sampulnya, memakai irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Kadang-kadang irah-irah itu juga tercantum diatas akta pembebanan hipotik yang
dibuat oleh PPAT. lni adalah salah dan berkelebihan, karena akta pernbebanan
itu saja, tidak cukup untuk minta eksekusi.
Akta pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT, seringkali dibuat berdasarkan
surat kuasa (untuk mernasang hipotik). Surat kuasa ini harus otentik (pasal
1171 BW), dan pada umumnya dibuat oleh Notaris.
Dengan demikian akta pernbebanan hipotik yang dibuat oleh seorang kuasa, harus
dilakukan berdasarkan surat kuasa yang otentik. Apabila dibuat oleh seorang
kuasa berdasarkan surat kuasa yang dituangkan dalam akta dibawah tangan sebagai
tidak rnemenuhi syarat subyektif, dan hipotiknya dapat dimohonkan pembatalannya
berdasarkan pasal 1154 BW.
Eksekusi hipotik dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukurn yang tetap.
Eksekusi dilakukan berdasarkan sertifikat hipotik.
Perjanjian hutang-piutang yang menyebabkan adanya hipotik bisa dituangkan dalam
akta dibawah tangan, tertera diatas kwitansi, bahkan bisa terjadi secara lisan.
Jadi tidak usah ada grosse aktanya. Eksekusi cukup dilakukan berdasarkan
sertifikat hipotik. (perhatikan pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 tabuh
1961), Eksekusi selain dapat dilakukan sendiri juga dapat dilakukan atas
perintah Ketua Pengadilan Negeri
Eksekusi atas perintah dan di bawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dari
wilayah hukum, dimana tanah yang dihipotikkan itu terletak.
Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang
dibebani dengan hipotik.
Pasal 200 (6) HIR menyatakan: Penjualan (lelang) benda tetap dilakukan setelah
penjualan (lelang) diumumkan menurut kebiasaan setempat. Penjualan (lelang)
tidak boleh dilakukan sebelum hari kedelapan setelah barang-barang itu disita.
Dengan telah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dihipotikkan dan
diserahkan uang hasil lelang kepada kreditur, selesailah sudah tagihan kreditur
dan hipotik-hipotik yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah
tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dari semua beban, kepada
pembeli lelang.
Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah
ketentuan yang terdapat dalam pasal 200 (11) HIR.
Hal ini adalah berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas
kekuasaan sendiri berdasarkan pasal 1178 (2) BW, dan pasal 6 UU No.4/1997 yang
juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan
pemegang hipotik pertama. Janji ini hanya berlaku untuk pemegang hipotik
pertama saja. Apabila pemegang hipotik pertama telah pula membuat janji untuk
tidak dibersihkan, (pasal 1210 BW dan pasal 11 (2) UU Hak Tanggungan), maka
apabila ada hipotik-hipotik lain-lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk
membayar semua hipotik yang membebani tanah yang bersangkutan, maka
hipotik-hipotik yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang
bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dari pelelangan yang sah. Jadi
pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hipotik yang belum
terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia
membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.
Untuk menjaga penyalahgunaan, maka penjualan lelang, juga berdasarkan pasal
1178 BW (kecuali penjualan lelang ini dilaksanakan berdasarkan pasal 6 Undang
Undang Hak Tanggungan) selalu baru dapat dilaksanakan setelah ada izin dari
Ketua Pengadilan Negeri.
Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang
tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat
ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain. Sebab lelang yang
diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang
Negeri, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor
Lelang Negara.
Penjualan (lelang) benda tetap harus diumumkan dua kali dengan berselang lima
belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan
obyek yang akan dilelang (pasal 200 (7) HIR, pasal 217 Rbg).
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE ATAU PERWASITAN
Ketentuan yang mengatur Arbritrase atau Perwasitan adalah pasal 615 s/d pasal
651 R.V.
Putusan Arbitrase domestik, yang terdiri dari putusan Arbitrase ad hoc dan
putusan Arbitrase Institusional (seperti putusan Arbitrase dari Badan Arbitrase
Nasional Indonesia-BANI) yang berkekuatan hukum tetap dan tidak dilaksanakan
secara sukarela, dapat dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri
dimana putusan Arbitrase itu telah dijatuhkan (pasal 637 RV).
Perhatikan juga ketentuan yang terdapat dalam pasal 634 RV dan seterusnya.
Putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap, apabila tidak
dilaksanakan secara sukarela, dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan
Mahkamah Agung No.1 Tahun 1990, tertanggal l Maret 1990.
EKSEKUSI
PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP
Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri yang
diterima baik oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian,
putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan
Pengadilan Tinggi yang diterima baik oleh kedua belah pihak dan tidak
dimohonkan kasasi, dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.
Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam
putusan, yaitu:
putusan declaratoir
putusan constitutief
putusan condemnatoir.
Putusan declaratoir, yang hanya
sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan saja, tidak perlu dieksekusi,
demikian juga putusan constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan suatu
keadaan, tidak perlu dilaksanakan.
Yang perlu dilaksanakan adalah putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi
penghukuman. Pihak yang kalah dihukum
untuk melakukan sesuatu.
Putusan untuk melakukan suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara
sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang (pasal 225 HIR, pasal 259 RBg) dan
selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.
Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak dilaksanakan secara
sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang
dikalahkan, yang sebelumnya harus disita (pasal 200 HIR, pasal 214 s/d pasal
224 RBg).
Putusan mana dengan tergugat dihukum untuk menyerahkan sesuatu barang, misalnya
sebidang tanah, dilaksanakan oleh jurusita, dengan disaksikan oleh pejabat
setempat, apabila perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara.
Eksekusi hendaknya dilaksanakan dengan tuntas. Apabila setelah dilaksanakan,
dan barang yang dieksekusi telah diterima oleh pemohon eksekusi, kemudian
diambil kembali oleh tereksekusi, maka eksekusi tidak bisa dilakukan kedua
kalinya.
Jalan yang dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah melaporkan tentang hal
tersebut diatas itu, kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian) atau
mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali barang (tanah/ tanah dan rumah
tersebut).
Putusan Pengadilan Negeri atas gugatan penyerobotan, apabila diminta dalam
petitum, bisa diberikan dengan serta-merta, atas dasar hak milik yang
diserobot.
PENANGGUHAN EKSEKUSI
Eksekusi hanya bisa ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang memimpin
eksekusi. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Negeri berhalangan,
Wakil Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan, agar eksekusi ditunda.
Dalam rangka pengawasan atas jalannya peradilan yang baik, Ketua Pengadilan
Tinggi selaku voorpost dari Mahkamah Agung, dapat memerintahkan agar eksekusi
ditunda atau diteruskan. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Tinggi
berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan agar eksekusi
ditunda.
Wewenang untuk menangguhkan eksekusi atau agar eksekusi diteruskan, pada puncak
tertinggi, ada pada Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal Ketua Mahkamah Agung
berhalangan, wewenang yang sama ada pada Wakil Ketua Mahkamah Agung.
Kepercayaan masyarakat dan wibawa Pengadilan bertambah, apabila eksekusi
berjalan mulus, tanpa rintangan.
Agar eksekusi berjalan mulus dan lancar, kerjasarna yang baik antar instansi
terkait didaerah, perlu terus menerus dibina dan ditingkatkan.
B.CARA MEMBUAT
SURAT KUASA
Surat kuasa digolongkan menjadi 2 :
- Surat kuasa formal biasanya menggunakan
materai Rp.6000,- dilengkapi dengan pemberi kuasa, penerima kuasa serta
saksi-saksi untuk memperkuat surat kuasa tersebut. Surat kuasa formal
digunakan untuk hal-hal yang bernilai tinggi misalnya surat kuasa atas
tanah, surat kuasa suatu usaha dan lain-lain.
- Surat kuasa non-formal tidak perlu
menggunakan materai, cukup pemberi dan penerima kuasa saja. Surat
kuasa non-formal contohnya mengurus perpanjangan STNK, mengambil uang
pensiun, pengambilan barang, surat wasiat dan lain-lain.
Dalam membuat surat kuasa yang baik
dan benar perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
- Pada bagian atas surat tulislah judul
yaitu Surat Kuasa
- Cantumkan pihak–pihak yang terlibat dalam
pengalihan kuasa. Pertama tulis biodata singkat pemberi kuasa kemudian
tulis biodata singkat penerima kuasa.
- Tulis Perihal surat kuasa dimaksud misalnya
untuk pengambilan gaji atau pensiun, pengambilan cek, pengambilan barang
dan lain-lain.
- Penutup surat.
- Tanggal dan tempat pembuatan
surat kuasa.
- Tanda tangan dan nama terang pemberi kuasa
dan penerima kuasa.
- Untuk menguatkan surat kuasa dapat dibubuhi materai
seperlunya.
Berikut beberapa contoh surat kuasa
yang bisa dijadikan referensi dalam membuat surat kuasa
sesuai kebutuhan Anda.
Contoh Surat Kuasa 1
Yang bertanda tangan dibawah ini
Nama
|
: Etty Kusnaedi, SH, M.Si.
|
Jenis Kelamin
|
: Wanita
|
Tempat Tanggal Lahir
|
: Kuningan, 7 April 1968
|
Alamat
|
: Jl. Penjernihan 1 No. 27
Kel. Pejomongan, Kec.Tanah Abang, Jakarta Pusat
|
No.
KTP
|
: 34.65.03.1006.78910
|
Pekerjaan
|
: Direktur Utama PT. Agung Gemilang
|
Memberikan kuasa kepada
Nama
|
: Nursakum
|
Alamat
|
: Jl. Administrasi Negara 1 No. 9
Kel. Petamburan, Kec. Tanah Abang, Jakarta Pusat.
|
No. KTP
|
: 35.76.02.1007.876543
|
Pekerjaan
|
: Karyawan PT. Agung Gemilang
|
Untuk pengambilan
|
: Satu Buah Buku BPKB Mobil Toyota Alphard
|
Nopol
|
: B 4716 UR
|
Warna
|
: Hitam Metalik
|
No. Mesin
|
: T-AVD-987-ID-9856565
|
No. Rangka
|
: MHUTG-9966546-AVD-68992.
|
Atas Nama
|
: Etty Kusnaedi, SH, M.Si.
|
Demikianlah Surat Kuasa ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana
semestinya.
Jakarta,
8 April 2013
Yang Diberi
Kuasa Yang
Memberikan Kuasa
(Nursakum) (Etty
Kusnaedi, SH, M.Si.)
Contoh Surat Kuasa 2
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
|
: Drs. Azhar Lubis, M.Sc.
|
Tempat/Tgl. Lahir
|
: Medan, 27 Agustus 1966
|
Pekerjaan
|
: Pegawai Negeri Sipil
|
Alamat
|
: Perumahan Reni Jaya Blok H/3 No. 11
Pamulang,
Tangerang, Banten
|
Memberikan kuasa pengambilan gaji
untuk bulan Mei 2013, dikarenakan saya sedang melaksanakan ibadah umroh. Untuk
mengambil gaji tersebut, saya akan memberikan kuasa kepada :
Nama
|
: Harry Santosa
|
Tempat/Tgl. Lahir
|
: Sumedang, 14 April 1979
|
Pekerjaan
|
: Swasta
|
Alamat
|
: Jl. H. Ung Kemayoran Gempol RT. 1/7
Kel. Kemayoran, Kec.
Senen, Jakarta Pusat
|
Demikian Surat Kuasa ini kami buat
dengan sebenar-benarnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta,
30 April 2013
Penerima Kuasa
Pemberi Kuasa
Materai
Rp.
6.000,-
(Harry Santosa )
(Drs.
Azhar Lubis, M.Sc.)
C. PIHAK-PIHAK YANG
BERPERKARA
1. Penggugat
Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang merasa haknya
dilanggar disebut sebagai Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak
Penggugat, maka disebut dalam gugatannya dengan “Para Penggugat”.
2. Tergugat
Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka Pengadilan
karena dirasa telah melanggar hak Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat
banyak pihak yang digugat, maka pihak-pihak tersebut disebut; Tergugat I,
Tergugat II, Tergugat III dan seterusnya.
3. Turut Tergugat
Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat
dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak
berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Namun, demi lengkapnya suatu gugatan,
maka mereka harus disertakan.
Dalam pelaksanaan hukuman putusan hakim, pihak Turut
Tergugat tidak ikut menjalankan hukuman yang diputus untuk Tergugat, namun
hanya patuh dan tunduk terhadap isi putusan tersebut.
3.
Penggugat/Tergugat Interven
4.
si
Pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan adanya
perkara perdata yang ada, dapat mengajukan permohonan untuk ditarik masuk dalam
proses pemeriksaan perkara perdata tersebut yang lazim dinamakan sebagai
Intervensi.. Intervensi adalah suatu perbuatan hukum oleh pihak ketiga yang
mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan
oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung.
Pihak Intervensi tersebut dapat berperan sebagai Penggugat Intervensi atau pun
sebagai Tergugat Intervensi.
D. kumulasi gugatan
- Kumulasi subjektif yaitu para pihak lebih dari
satu orang (Pasal 127 HIR/151 RBg) adalah penggugat atau beberapa penggugat
melawan (menggugat) beberapa orang tergugat, misalnya Kreditur A
mengajukan gugatan terhadap beberapa orang debitur (B, C, D) yang
berhuntang secara tanggung renteng (bersama). Atau beberapa penggugat
menggugat seorang tergugat karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad). Syarat untuk kumulasi subjektif adalah bahwa tuntutan tersebut
harus ada hubungan hukum yang erat satu sama lain (koneksitas) (Putusan MA
tanggal 20 juni 1979 Nomor 415 K/Sip/1975). Kalau tidak ada hubunganya
harus digugat secara tersendiri.
- Kumulasi objektif yaitu penggabungan beberapa
tuntutan dalam satu perkara sekaligus (penggabungan objek tuntutan),
misalnya A menggugat B selain minta dibayar hutang yang belum dibayar juga
menuntut pengembalian barang yang tadinya telah dipinjam.
Penggabungan objektif tidak boleh dilakukan dalam hal:
- Hakim tidak berwenang secara relatif untuk
memeriksa satu tuntutan yang diajukan secara bersama-sama dalam gugatan.
- Satu tuntutan tertentu diperlukan satu gugatan
khusus sedangkan tuntutan lainnya diperiksa menurut acara biasa.
- Tuntutan tentang bezit tidak boleh diajukan
bersama-sama dengan tuntutan tentang eigendom dalam satu gugatan.
Tujuan penggabungan gugatan :
- Menghindari kemungkinan putusan yang berbeda atau
berlawanan/bertentangan.
- Untuk kepentingan beracara yang bersifat
sederhana, cepat dan biaya ringan.
WEWENANG MENGADILI
Hukum Acara Perdata di Indonesia mengenal 2 (dua)
macam kekuasaan mengadili yang disebut yurisdiksi (jurisdiction) atau
kompetensi/kewenangan mengadili, yaitu pengadilan yang berwenang mengadili
sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan
perundang-undangan.
Tujuan utama membahas kekuasaan/kewenangan mengadili
adalah untuk memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan
tepat berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar pengajuan
dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru. Ada 2 (dua) macam kewenangan
yaitu kewenangan mutlak (absolute competentie) dan kewenangan relatif (relative
competentie).
Kewenangan mutlak adalah menyangkut pembagian
kekuasaan absolut untuk mengadili. Misalnya masalah perceraian bagi pihak-pihak
yang beragama Islam, maka berdasarkan Pasal 63 ayat (1) huruf a Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka kewenangan mengadili tersebut ada
pada Pengadilan Agama. Contoh lain mengenai masalah sewa menyewa,
utang-piutang, jual-beli, gadai, hipotek adalah berada dalam kewenangan
Pengadilan Negeri (“PN”).
Kewenangan relatif mengatur pembagian kekuasaan
mengadili berdasarkan wilayah antara pengadilan yang serupa. Misalnya masalah
utang-piutang diajukan oleh penggugat pada PN Jakarta Selatan, karena salah
satu tempat kediaman tergugat ada di Jakarta Selatan, walaupun penggugat dapat
juga mengajukan gugatan pada PN Tangerang karena tergugat lainnya berdomisili
di Tangerang. Adapun asas yang berwenang adalah Pengadilan Negeri tempat
tinggal tergugat atau disebut actor sequitur forum rei. Tujuannya adalah
agar gugatan diajukan dan dimasukkan kepada PN yang berkedudukan di wilayah
atau daerah hukum tempat tinggal tergugat.
Asas ini dideduksikan dari Pasal 118 HIR atau Pasal
142 RBg, yaitu:
- Gugatan diajukan pada PN tepat kediaman tergugat,
apabila tidak diketahui tempat kediaman tergugat, maka diajukan pada
tempat tinggal tergugat sebelumnya.
- Jika tergugat lebih dari seorang sedang mereka
tidak tinggal di dalam wilayah satu PN, gugatan diajukan pada PN yang
berada di wilayah salah satu diantara para tergugat, menurut pilihan
penggugat.
Berdasarkan penjelasan sebagaimana tersebut di atas,
maka jelas seseorang atau badan hukum yang akan mengajukan gugatan perdata
haruslah mencermati dan mengetahui kemana dirinya harus mengajukan gugatan
tersebut agar gugatan dapat diperiksa oleh pengadilan yang berwenang.
E. Upaya Hukum
Untuk Menjamin Hak
Ada beberapa
bentuk upaya menjamin hak yang dilakukan oleh hukum, yaitu dengan
1.
Permohonan Sita
Adapun
pengertian sita / beslaag yaitu suatu tindakan hukum oleh hakim yang bersifat
eksepsional, atas permohonan atas salah satu pihak yang bersengketa, untuk
mengamankan barang-barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan
dipindahtangankan, dibebani sesuatu sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan
oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang-barang tersebut, untuk menjamin
agar putusan hakim nantinya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Untuk
menjamin hak-hak tersebut, maka hukum memberi jalan dengan hak baginya untuk
mengajukan permohonan sita terhadap barang-barang sengketa atau yang dijadikan
jaminan.
2. Hakikat
Sita
Dari rumusan
pengertian sita tersebut maka kita bisa lihat bahwa hakikat dari persitaan
adalah:
a. sita
merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh hakim.
b. Sita
bersifat eksepsional.
c. Sita
dilakukan atas permohonan pihak yang bersengketa.
d. Sita
untuk mengamankan barang-barang sengketa atau yang dijadikan jaminan.
e. Tujuan
akhir dari sita yaitu untuk menjamin agar putusan hakim nantinya, sekiranya
tuntutan dalam pokok perkara dikabulkan, dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
3.
Pelaksanaan Sita
Penyitaan
dilakukan oleh panitera pengadilan agama, yang wajiub membuat berita acara
tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita bila dia
hadir. Dalam melaksanakan pekerjaan itu, panitera dibantu oleh dua orang saksi
yang ikut serta menandatangani berita acara.
4.
Unsur-unsur Dalam Penyitaan
a)
pemohon sita
b)
permohonan
sita
c)
obyek sita
d)
tersita
e)
hakim
f)
pelaksana
sita
5.
Macam-macam Sita
a. sita
conservatoir
·
Pengertian
Sita
conservatoir adalah sita terhadap barang-barang milik tergugat yang
disengketakan setatus kepemilikannya, atau dalam hal utang piutang atau
tuntutan ganti rugi
· Sita
conservatoir artinya jaminan atau tanggung jawab.
· Sita
conservatoir diatur dalam pasal 227HIR/ps.261 RBg.
6. Sita dapat dilakukan atas:
a)
Harta yang
disengketakan status kepemilikannya, atau
b)
Harta
kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau tuntutan ganti rugi
·
obyek kekayaan dapat meliputi atas:
a)
barang
bergerak dan tidak bergerak
b)
barang yang
berwujud dan tidak berwujud
·
pembebanan sita dapat diletakkan:
a)
Atas benda
tertentu(yaitu jika sita didasarkan atas sengketa kepemilikan atau mengenai
barang tertentu).
b)
Atas seluruh
harta kekayaan tergugat sampai mencukupi jumlah seluruh tagihan(yaitu apabila
gugatan didasarkan hutang piutang atau ganti rugi).
·
Permohonan sita harus ada alasan
bahwa:
a)
Tergugat
dikhawatirkan akan memindahtangankan atau mengasingkan dan sebagainya
barang-barang sengketa atau jaminan.
b)
Terdapat
tanda-tanda atau fakta-fakta yang mendasari kehawatiran tersebut.
Permohonan
sita tanpa ada alasan seperti diatas tidak dapat dikabulkan.
A.Tatacara
sita conservatoir
i.
penggugat
dapat mengajukan permohonan sita bersama-sama (menjadi satu) dengan surat
gugatan, mengenai pokok perkara.
ii.
Permohonan
diajukan kepada pengadilan yang memeriksa perkara pada tingkat pertama.
iii.
Alasan
tersebut disertai data-data atau fakta-fakta yang menjadi dasar kehawatiran.
iv.
Hakim
mengeluarkan “penetapan” yang isinya menolak atau mengabulkan permohonan sita
tersebut.
v.
Apabila
permohononan sudah ditolak tapi timbul hal-hal baru yang menghawatirkan, maka
dapat mengajukan permohonan lagi.
b. sita
revindicatoir
·
Pengertian
Sita
revindicatoir ialah sita terhadap barang milik kreditur(penggugat) yang
dikuasai oleh orang lain (tergugat).
Sita
revindicator telah diatur dalam pasal 226 HIR, pasal 260 R.Bg.
Sita
revidicatoir bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk
menjamin hak kebendaan dari pemohon berakhir berakhir penyerahan barang yang
disita.
·
Tatacara
sita revindicatoir
Pelaksanaan
sita ini sama seperti sita conservatoir.
c. sita
marital
·
Pengertian:
Sita marital
ialah sita yang diletakkan atas harta perkawinan. Dan sita ini diatur dalam
pasal 78 huruf c UU.No. 7/1989 jo pasal 24 PP.No. 9/1975, pasal 95 Kompilasi
Hukum Islam.
·
Syarat-syarat
sita marital
a)
Sita marital
dapat dimohonkan oleh suami atau istri dalam sengketa perceraian, pembagian
harta perkawinan dan pengamanan harta perkawinan.
b)
Sita apat
diletakkan atas semua harta perkawinan yang meliputi harta suami, istri dan
harta bersama suami isteri yang disengketakan dalam pembagian harta bersama.
c)
Sita marital
dapat diajukan bersama-sama dalam pemeriksaan perceraian atau setelah
perceraian terjadi.
·
Tatacara
sita marital
Tatacara
sita marital sama seperti dengan sita pada umunya.
d. Sita
Persamaan
·
Pengertian
Istilah
dalam bahasa belanda”vergelind beslaag”.ada yang memakai sita perbandingan,
adapula yang memakai sita persamaan yang mana istilah ini dipakai oleh mahkamah
agung. Dan sita persamaan ini diatur dalam pasal 463 RV.
·
Tatacara
sita persamaan
a.
Apabila juru
sita hendak melakukan penyitaan dan menemukan bahwa barang-barang yang akan
disita itu sebelumnya telah disita terlebih dahulu, maka juru sita tidak dapat
melakukan penyitaan sekalilagi, namun ia mempunyai kewenangan untuk
mempersamakan barang-barang yang disita itu dengan berita acara penyitaan, yang
untuk itu oleh pihak tersita harus diperlihatkan kepada jurusita tersebut.
b.
Berita acara
sita persamaan ini berlaku sebagai sarana pencegahan hasil lelang kepada
penyita pertama.
F. Teknik
Membuat Dan Mengajukan Gugatan, Jawaban, Tangkisan, Dan Gugatan Rekovensi.
Eksepsi adalah salah satu jenis
jawaban tergugat selain jawaban pokok perkara dan rekonvensi. Sebelum memutus
tentang eksepsi, hakim harus memeriksa kebenarannya lebih dahulu. Pemeriksaan
eksepsi adalah pemeriksaan mengenai hal-hal di luar pokok perkara. Dengan
demikian seorang tergugat yang dikabulkan eksepsinya menjadi pihak yang menang
dalam perkara. Dengan kata lain, tergugat dapat menang di pengadilan walaupun
sebenarnya pokok perkara yang dihadapi lemah, karena putusan yang memenangkan
eksepsi belum mempertimbangkan dan/ atau belum memutus pokok perkara.
PENGERTIAN EKSEPSI:
Eksepsi adalah bantahan tergugat
untuk menangkis tuntutan penggugat, yang tidak mengenai pokok perkara, akan
tetapi jika berhasil dapat menyudahi pemeriksaan, atau mengandaskan gugatan.
Ada beberapa jenis eksekpsi. Berikut
ini disajikan jenis-jenis eksepsi yang dikelompokkan menurut pengaturan dan
sifat eksepsi
A. EKSEPSI PROSESUIL (eksepsi yang
diatur dalam Hukum Acara Perdata).Menurut sifatnya, eksepsi ini terdiri dari:
1. Eksepsi Peremtoir (Premptoire
exceptie, eksepsi yang bersifat menyudahi,memutuskan), misalnya tergugat
menyatakan gugatan res judicata (satu perkara tidak boleh diajukan dua kali)
2. Eksepsi Deklinatoir (declinatoire
exceptie, eksepsi yang bersifat mengelakkan), umpama eksepsi yang menyatakan
bahwa gugatan diajukan pada pengadilan (hakim) yang tidak berwenang, baik tidak
berwenang mengadili menurut kompetensi absolute (Pasal 134 HIR) maupun
kompetensi relative (Pasal 133 HIR). Di sini tergugat mengelak dari kompetensi
pengadilan (hakim).
3. Eksepsi Diskualifikatoir
(disqualificatoire exceptie, eksepsi yang sifatnya mendiskualifikasi kedudukan
pihak berperkara, dengan mangatakanpenggugat dan/ atau tidak mempunyai
kedudukan sebagaimana yang dimaksudkan dalam gugatan),umpama penggugat
menggugat atas nama suatu perseroan terbatas, padahal iabukan direkturnya, maka
tergugat dapat mengajukan eksepsi, bahwa penggugat tidakberwenang mewakili;
contoh lain tergugat digugat padahal bukan ia yang pinjam melainkan saudaranya.
4. Eksepsi obscuur libel (obscure
libel exceptie) yaitu eksepsi yang didasarkan pada dalil gugatan penggugat
gelap atau samar-samar. Menurut Rv suatu surat gugat terdiri dari dua bagian,
yaitu fundamentum petendi (yang berisi uraian peristiwa dan dasar hukum
gugatan) serta petitum (apa yang dituntut). Fundamentum petendi harus memenuhi
syarat jelas dan lengkap, sidang petitum harus memenuhi syarat terang dan
pasti. Apabila fundamentum petendi tidak jelas dan tidak lengkap, dan atau
petitum tidak terang dan tidak pasti, maka gugatan tersebut adalah obscuur
libel (gelap atau samar-samar)
5. Eksepsi chicaneus process
(chicaneus process exceptie, eksepsi yang manyatakan proses apus-apusan) berupa
gugatan yang diajukan dengan tanpa adanya sengketa hukum yang melandasi gugatan
tersebut. Dengan kata lain antara penggugat dengan tergugat tidak pernah
terjadi sengketa hukum.
B. EKSEPSI MATERIIL
Eksepsi ini didasarkan pada
ketentuan Hukum Materiil.
Jenis eksepsi ini adalah:
1. Dilatoire exceptie (eksepsi
dilatoir, yaitu eksepsi yang sifatnya menunda atau menangguhkan). Misalnya
mengajukan eksepsi yang berbunyi: Gugatan belum tiba saatnya, karena tergugat
harus mengembalikan pinjaman tanggal 1 Agustus, sekarang baru 1 April sudah
digugat.
2. Eksepsi Peremtoir (Premptoire
exceptie, eksepsi yang bersifat menyudahi,memutuskan), umpama tergugat
menyatakan gugatan sudah lewat waktu (daluwarsa).Apabila hakim menyetujui maka
maka perkara selesai dan tergugat tidak bisa menggugat lagi.
3 Gugatan penggugat tidak didukung
oleh fakta atau peristiwa, sifat eksepsi ini adalahEksepsi chicaneus process
(chicaneus process exceptie, eksepsi yang menyatakan proses hapus-hapusan).
Jika antara penggugat dengan tergugat tidak pernah terjadi peristiwa atau
perbuatan sebagaimana diuraikan dalam gugatan, maka tergugat dapat mengajukan
eksepsi ini.
TEKNIK MENGAJUKAN EKSEPSI(tangkisan)
1.
Menentukan
kompentensi
Salah satu
jenis eksepsi adalah eksepsi deklinatoir (eksepsi mengelakan). Maksudnya dengan
mengajukan eksepsi jenis ini maka tergugat mengelak dari kompetensi pengadilan.
Di sini tergugat menyatakan bahwa pengadilan yang memeriksa tidak mempunyai
kompetensi (wewenang mengadili).
Kompetensi ada
dua macam yaitu:
A.
Kompetensi asbsolut (kompetensi atributief)
adalah wewenang mengadili yang didasarkan pada jenis lembaga peradilan dan
tingkat pengadilan. Setiap lembaga peradilan mempunyai kompetensi menyelesaikan
perkara berdasar jenis perkara dan orang yang terlibat perkara (orang yang
bersengketa).
B.
Kompetensi
relatif (kompetensi distributief) adalah wewenang mengadili berdasar wilayah
hukum pengadilan yang sejenis (berada dalam satu lingkungan peradilan) dan
sejajar (sama tingkatan pengadilannya). Kompetensi relatif pengdilan negeri
diatur dalam Pasal 118 HIR (ada tujuh pengadilan negeri yang berwenang
mengadili).
2.
Menganalisis
isi gugatan
Menurut Hukum
Acara Perdata, gugatan terdiri dari dua bagian, yaitu:
A.
Fundamentum
petendi
Fundamentum
petendi adalah sebutan lain dari posita dalam sebuah gugatan. Ia merupakan
dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari
suatu tuntutan. Untuk mengajukan suatu tuntutan, seseorang harus menguraikan
dulu alasan-alasan atau dalil sehingga ia bisa mengajukan tuntutan seperti itu.
Karenanya, fundamentum petendi berisi uraian tentang kejadian perkara atau
duduk persoalan suatu kasus. Contohnya saja
dalam suatu gugatan perceraian. Anda harus memuat keterangan dalam surat
gugatan itu berupa kronologis atau urutan peristiwa sejak mulai perkawinan
dilangsungkan, peristiwa hukum seperti lahirnya anak, hingga kejadian yang
membuat Anda tidak cocok dengan suami/isteri, termasuk sebab-sebab yang membuat
Anda ingin bercerai.
B.
Petitum
Dalam Pasal 8
Nomor 3 RBg disebutkan bahwa petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan
oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Tuntutan ini akan
terjawab di dalam amar putusan. Oleh karena itu petitum harus dirumuskan secara
jelas, singkat dan padat sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya dapat
mengakibatkan tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim.
Disamping itu petitum harus berdasarkan hukum dan harus didukung pula oleh
posita. Posita yang tidak didukung oleh petitum akan berakibat tidak dapat
diterimanya tuntutan, sedangkan petitum yang tidak sesuai dengan posita maka
akibatnya tuntutan ditolak oleh hakim.
Dalam praktek peradilan, petitum dapat terbagi ke dalam tiga bagian
yaitu:
1). Petitum Primer;
Petitum ini
merupakan tuntutan yang sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat
sebagaimana yang dijelaskan dalam posita. Hakim tidak boleh mengabulkan lebih
dari apa yang diminta atau dituntut.
2). Petitum Tambahan;
Merupakan tuntutan pelengkap dari pada tuntutan primer.
Biasanya dapat berupa:
a.
Tuntutan agar tergugat membayar biaya
perkara;
b.
Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad, yaitu
tuntutan agar putusan dinyatakan dapat
dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding dan
kasasi;
c.
Tuntutan
provisionil, yaitu hal yang dimintakan oleh penggugat agar dilaksanakan
tindakan sementara yang sangat mendesak sebelum putusan akhir diucapkan;
d.
Tuntutan
agar tergugat dihukum untuk membayar bunga kelalaian (muratoir);
e.
Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar
uang paksa (dwangsom);
3). Petitum Subsider;
Diajukan oleh
penggugat untuk mengantisipasi barangkali tuntutan pokok atau tambahan tidak
diterima oleh hakim. Biasanya tuntutan ini berbunyi ”agar hakim mengadili
menurut keadilan yang benar:” atau ”mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo
Et Bono)”
3.
Menganalisis
pihak
dalam suatu surat gugatan haruslah jelas diuraikan mengenai
identitas Penggugat atau Para Penggugat atau tergugat atau para tergugat.
Identitas itu
umumnya menyangkut :
1). Nama
lengkap;
2). Tempat
Tanggal Lahir/ Umur;
3). Pekerjaan;
4). Alamat atau
domicili
Dalah hal
penggugat atau tergugat adalah suatu badan hukum, maka harus secara tegas
disebutkan dan siapa yang berhak mewakilinya menurut anggaran dasar atau
peraturan yang berlaku. Atau ada kalanya kedudukan sebagai penggugat atau
tergugat itu dilakukan oleh cabang dari badan hukum itu, maka harus secara
jelas disebutkan mengenai identitas badan hukum itu.
Penyebutan
identitas para pihak dalam gugatan. Penyebutan ini merupakan syarat mutlak
(absolute) keabsahan Surat Gugatan, yang apabila tidak dicamtumkan berimplikasi
pada gugatan cacat hukum. Landasarn yuridis keharusan pencamtuman identitas
adalah untuk penyampaian panggilan dan pemberitahuan.
4.
Menganalisis
perumusan pihak
Perumusan pihak yang menjadi pihak (penggugat atau tergugat) tanpa
diwakili oleh orang lain, adalah mudah, cukup disebut nama, pekerjaan dan
alamat. Perumusan pihak perlu mendapat perhatian lebih apabila dalam suatu
perwakilan, khususnya perwakilan perkumpulan. Dalam hal perkumpulan, maka harus
dibedakan antara perkumpulan yang berbadan hukum dengan perkumpulan bukan badan
hukum. Perkumpulan badan hukum jika diibaratkan orang maka orang tersebut
adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum (bekwaam), sedangkan
perkumpulan yang bukan badan hukum ibaratnya adalah orang yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum (onbekwaam). Bagi orang yang cakap berbuat hukum,
maka dirinya dapat maju sendiri sebagai penggugat atau tergugat, namun bagi
orang yang tidak cakap berbuat hukum apabila tersangkut perkara di pengadilan
maka dirinya harus diwakili. Hal demikian berlaku pula bagi perkumpulan.
Perkumpulan yang berbadan hukum dapat maju sendiri atau diwakili sebagai
penggugat atau diajukan sebagai tergugat. Bagi perkumpulan yang bukan badan
hukum harus diwakili.
Gugatan rekonvensi
Gugatan rekonvensi terdiri dari 2
syarat yaitu
a.
Syarat
formil
Supaya
gugatan rekonvensi dinyatakan sah, selain harus dipenuhinya syarat materil,
gugatan harus pula memenuhi syarat formil. HIR tidak secara tegas menentukan
dan mengatur syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan tersebut dianggap
ada dan sah,gugatan harus dirumuskan secara jelas. Tujuannya agar pihak lawan
dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang diajukan
tergugat kepadanya. Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan, tetapi
lebih baik apabila diajukan dalam bentuk tertulis. Apapun bentuk pengajuannya
baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu diperhatikan adalah gugatan
rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan yaitu:
-
menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi
merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan
dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond) yang melandasi
gugatan;
-
menyebut dengan rinci petitum gugatan.
Apabila
unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi
syarat dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Agar gugatan rekonvensi
memenuhi syarat formil, dalam gugatan harus disebutkan dengan jelas subjek atau
orang yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi. Subjek yang dapat ditarik sebagai
tergugat rekonvensi adalah penggugat konvensi. Gugatan rekonvensi merupakan hak
yang diberikan kepada tergugat untuk melawan gugatan konvensi, maka pihak yang
dapat ditarik sebagai tergugat hanya penggugat konvensi.
b.
Syarat
materil
Syarat materil
gugatan rekonvensi berkaitan dengan intensitas hubungan antara materi gugatan
konvensi dengan gugatan rekonvensi.
Peraturan
perundang-undangan tidak mengatur mengenai syarat materil gugatan rekonvensi.
Ketentuan Pasal 132 huruf (a) HIR
hanya berisi
penegasan bahwa:
- tergugat
dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi;
- tidak
disyaratkan antara keduanya harus mempunyai hubungan erat atau koneksitas yang
substansial.
Walaupun tidak
terdapat pengaturan mengenai syarat harus adanya koneksitas antara gugatan
rekonvensi dengan konvensi, ternyata
dalam
prakteknya, pengadilan cenderung menerapkannya. Seolah-olah koneksitas
merupakan syarat materil gugatan rekonvensi.
Oleh karena
itu, gugatan rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima untuk diakumulasi
dengan gugatan konvensi, apabila
terpenuhi
syarat:
- terdapat
faktor pertautan hubungan mengenai dasar hukum dan kejadian yang relevan antara
gugatan konvensi dengan
rekonvensi;
- hubungan
pertautan itu harus sangat erat, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan
secara efektif dalam satu proses dan
putusan.